Sejarah Kebudayaan Banjar
Terakhir diperbaharui : Thursday, 12 November 2020

             SEJARAH KEBUDAYAAN BANJAR


Kerajaan Banjarmasin, biasa disebut sedikit lebih ringkas dengan Kerajaan Banjar, merupakan kerajaan bercorak Islam yang didirikan oleh Pangeran Samudera pada tahun 1562. Pangeran ini pula yang menjadi raja pertama Kerajaan Banjar yang setelah memeluk Islam mengganti nama dan gelarnya menjadi Sultan Suriansyah atau Sultan Suryanullah. Pusat pemerintahannya berada di Banjarmasin sampai pada Abad Ke-18, setelahnya hingga Abad Ke-19 pusat pemerintahan berada di Martapura. Sekarang. Setelah zaman kemerdekaan, Martapura merupakan ibukota Kabupaten Banjar. Apa yang telah dilakukan oleh Pangeran Samudera merupakan tindakan radikal bukan saja karena ia telah memilih Islam sebagai agama barunya, tetapi juga “Islam telah dijadikan agama negara”. Islam dengan demikian kemudian nyaris secara serempak melandasi segenap aspek kehidupan rakyat Kerajaan Banjar, yang sebelumnya menganut Hindu.

Nuansa keislaman juga tercermin pada nama seluruh sultan yang pernah berkuasa di Kerajaan Banjar. Sejak Sultan Suryanullah, kemudian diikuti oleh penggantinya, yakni Sultan Rahmatullah hingga Sultan Adam Al-Watsiq Billah yang kemudian digantikan oleh Sultan Tamjidillah sebagai sultan terakhir dari Kerajaan Banjar. Di dalam struktur pemerintahan kerajaan Banjar, selain mengikuti pola lama yang dipengaruhi budaya Hindu, juga ditambahkan nuansa Islam seperti adanya lembaga Mufti dan Kadhi atas usul ulama terkemuka ketika itu, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Hal ini jelas menunjukan secara langsung masuknya unsur Islam ke dalam system pemerintahan Kerajaan Banjar. Lebih dari itu hadirnya Undang-Undang Sultan Adam pun mengindikasikan bagaimana unsur Islam mengatur segala segi kehidupan rakyat ketika itu, sebab Undang-Undang ini menjadikan ajaran Islam sebagai landasannya.

Dari sisi yang lain, ada bukti sejarah yang menunjukkan manuskrip-manuskrip dalam hal korespondsensi antara para sultan dan pembesar dari Kerajaan Banjar kepada pemerintahan kolonial senantiasa di tulis dalam huruf Arab berbahasa melayu. Diawal surat yang dikirimkan oleh sultan atau pembesar Kerajaan Banjar kepada pemerintah kolonial senantiasa mencantumkan kata-kata seperti “…Warqoh al-ikhlas wa tuhfah al-ijnas…”, “…waroqatul ikhtisos qosdul khoir…”, atau “Qawluhu al-haqq wa kalamuhu al-sadiq”. Hal semacam ini menunjukan hal keislaman itu pada kalangan elit masyarakat Banjar ketika itu.

Pada masa kini, bahasa Arab praktis banyak dikuasai oleh kalangan santri, yang mengenyam pendidikan di puluhan pondok pesantren yang ada di kabupaten Banjar. Bahkan ucapan-ucapan dalam bahasa Arab juga lazim diucapkan oleh masyarakat awam. Jika penggunaan huruf Arab dapat mengindikasikan atau guna menunjukan nuansa keislaman, maka saat ini banyak ditemui untuk papan nama-nama jalan atau perkantoran dan fasilitas umum di Kabupeten Banjar yang menggunakan huruf Arab mengiringi penggunaan huruf Latin. Mungkin ini dimaksudkan untuk masyarakat setempat yang tidak bisa membaca huruf Latin namun dapat membaca dalam huruf Arab. Bagi orang-orang Timur Tengah tentu dapat membaca hurufnya, namun boleh jadi mereka tidak paham maksudnya. Karena Arab-Melayu yang diperagakan dalam penamaan jalan dan kantor pemerintah itu hanya sekadar meminjam aksara Arab, tetapi tidak berarti menggunakan bahasa Arab. Kata “Jalan” (نالاج) dalam aksara Arab, tidak sama dengan “jalan” dalam bahasa Arab (قيرطلا). Hal itulah yang harus dipahami ketika menafsirkan nuansa Islami dalam budaya Banjar.

Sejak dakwah yang dimulai oleh Syeh Muhammad Arsyad al-Banjari pada abab ke-19, Islam berkembang pesat, disebarkan oleh murid dan anak cucunya. Selain Muhammad Arsyad Al-Banjari, di Kabupaten Banjar kemudian dikenal ulama-ulama terkemuka seperti K.H Zainal Ilmi, K.H Kasyful Anwar, K.H Badaruddin (Haji Ibad), Guru Muhdar, K.H Zaini Ghani (Guru Sekumpul), K.H Anang Djazouli (Abah Anang), Guru Bakri, dan yang lainnya. Pada masa kini, peran ulama itu diukung oleh lembaga-lembaga pendidikan keislmanan, mulai tingkat Ibtidiyah, Tsanawiyah hingga Aliyah hingga podok pesantren dan perguruan tinggi Islam.

Untuk memperingati para ulama besar penyebar agama Islam, masyarakat Banjar terbiasa untuk menggelar “haul”, yakni hari peringatan meninggalnya ulama besar tersebut. Dua “haul” besar menjadi events tahunan di Kabupaten Banjar adalah haul Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (di Kalampayan) dan haul K.H Zaini Ghani (di Sekumpul). Haul Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dilaksanakan pada setiap bulan Syawal tahun Hijriah, sedangkan haul K.H Zaini Ghani dilaksanakan pada setiap bulan Rajab tahun Hijriah. Kedua haul ini mampu menghadirkan ratusan ribu orang pada setiap penyelenggaraannya. Pada setiap haul ini diselenggarakan sedikit banyak merefleksikan nuansa keislaman yang kuat pada masyarakat di Kabupaten Banjar.